Dengan demikian, kata dia, skema ini dapat mendukung upaya bahwa energi adalah modal dasar pembangunan dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia seharusnya didorong untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, pun negara diuntungkan."Dari sisi kontraktor, ketika keekonomian lapangan katakanlah tidak terpenuhi, maka dia dapat insentif 5 persen. Ketika harga naik, pemerintah dapat 5 persen," jelas Syamsir.
Terkait kebijakan yang baru ini, Syamsir menyatakan lebih baik kebijakan ini dicoba terlebih dahulu untuk dijalankan sambil dilakukan evaluasi secara berkelanjutan. Jangan sampai belum sempar kebijakan ini belum diterapkan, lalu kemudian dianulir."Biarkan (kebijakan) ini bekerja, terbuka ruang untuk terus dievaluasi. Apalagi diberikan kepada SKK Migas untuk melakukan evaluasi," tutur Syamsir.
Skema kerja sama migas kontrak bagi hasil gross split dinilai adil bagi pemerintah dan kontraktor. Skema ini telah diterapkan untuk Blok Migas ONWJ atau Offshore North West Java."Tentang gross split ini menurut saya kebijakan yang fair," kata Syamsir Abduh, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dalam sebuah diskusi terkait energi di Jakarta, Minggu (22/1/2017).Ketentuan terkait gross split tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 dan efektif berlaku 16 Januari 2017.
Untuk minyak bumi, jelas Syamsir, pemerintah memiliki porsi 57 persen dan 43 persen kontraktor, adapun untuk gas bumi 52 persen negara dan 48 persen kontraktor.Selain itu, skema gross split juga dipandang Syamsir dapaf mendorong pemanfaatan migas di dalam negeri. Dalam skema ini juga ada dukungan terhadap pemanfaatan produk dalam negeri dan tenaga kerja berupa warga negara Indonesia (WNI).
Pakai Gross Split, Pemerintah Jamin Investor Peroleh IRR 12% | PT Bestprofit Futures Malang
Bila dibandingkan, katanya, Indonesia lebih unggul dari Libya yang menggunakan PSC gross split meskipun memiliki perbedaan. Dari sisi reservoir, Libya menawarkan risiko yang lebih rendah. Namun, aspek lainnya seperti keamanan justru lebih rendah dan membuat investor berpikir ulang untuk menjadikan Libya sebagai tujuan investasi. Hal itu berbeda dengan Indonesia yang menawarkan reservoir yang menantang tapi stabil secara politik dan keamanannya.
Sebelumnya, Johan Utama, Analis Hulu Asia Tenggara Wood Mackenzie mengatakan pengembangan sektor minyak dan gas akan semakin kompleks, karena lokasi pengembangan akan berada di perairan yang semakin dalam dan lokasinya yang semakin jauh dengan pasar. Tantangan ini tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar untuk melakukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi dari beberapa tahun belakangan. Dengan demikian, pemerintah harus menerapkan cara untuk menjaga investasi hulu tetap menarik.Saat ini, investor akan mencari peluang bagaimana bisa memperoleh IRR minimum sebesar 15% melalui pengembangan blok baru. Investor, katanya, hanya akan memilih proyek yang memenuhi toleransi IRR yang diinginkan untuk dikembangkan."Dalam kondisi seperti ini, pemerintah di seluruh dunia harus menyeimbangkan antara penerimaan negara, produksi migas, daya tarik investasi dan solusi jangka panjang industri hulu di negaranya," ujarnya.
Pemerintah jamin pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi bisa peroleh pengembalian modal minimum 12% dengan menggunakan kontrak bagi produksi (production sharing contract/PSC) gross split.Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja Puja mengakui daya saing investasi Indonesia masih rendah. Namun, dengan penerapan PSC gross split dia menjamin investor bisa mendapat rasio pengembalian modal (internal rate of return/IRR).Pemerintah bisa memberikan insentif bagi lapangan-lapangan yang memiliki IRR kurang dari 12%. Seperti yang terdapat di pasal 7 Permen No.8/2017 tentang Kontrak Gross Split, pemerintah bisa memberikan splitnya hingga 5% bila pengembangan lapangan tertentu memiliki IRR kurang dari 12%.
"Tergantung lapangan yang dia dapat lagi. Ya kalau marjinal makanya ada tambahan splitnya supaya IRR-nya kekejar. Minimum dia dapat IRR 12%," ujarnya belum lama ini.Dia berharap penerapan gross split bisa menjadi nilai rawar untuk menggaet investor. Terbukti dengan penawaran 14 wilayah kerja baru yang dilakukan pada pertengahan 2016, belum satu pun yang ditandatangani kontraknya. Meskipun telah terdapat satu calon potensial yang melego satu di antara tujuh wilayah kerja yang ditawarkan secara langsung (direct offer) yakni wilayah kerja yang sebelumnya telah dilakukan kajian bersama (joint study). Pada skema penawaran seperti ini, biasanya investor yang melakukan kajian bisa menjadi peserta yang diutamakan saat penawaran dilakukan.
Dari tiga wilayah kerja yang diminati yaitu Ebuny (lepas pantai Sulawesi Tenggara), Onin (darat-lepas pantai Papua Barat) dan West Kaimana (darat-lepas pantai Papua Barat) hanya satu yang kini telah memenuhi aspek teknis dan finansial. Padahal, pada penawaran wilayah kerja tersebut pemerintah telah memberikan kebebasan kepada calon investor menetapkan sendiri bagi hasil (split), usulan kegiatan juga bonus tanda tangan. Tingginya bonus tanda tangan yang diinginkan pemerintah yakni sekitar US$500.000 ternyata membuat investor belum melirik wilayah kerja yang ditawarkan.
Pada lelang berikutnya, investor masih bisa menyesuaikan sendiri bonus tanda tangan yang harus dibayar dan pemerintah akan memberikan split dasar (base split) antara pemerintah:kontraktor yakni 57:43 untuk pengembangan minyak dan 52:48 untuk gas. Selanjutnya, bisa berubah dengan variabel dan komponen progresif."Kan kemarin enggak laku soalnya. Yang jelas dari 14 yang kita miliki, yang laku baru satu," katanya.Dari aspek perizinan, ujar Wirat, pihaknya telah menyederhanakan dari 104 menjadi 42 dan menjadi empat perizinan saja yakni dua izin di hulu dan empat izin di hilir. Dengan demikian, penerapan PSC gross split diharapkan membawa dampak signifikan terhadap minat investasi hulu Tanah Air.
Skema Gross Split Rugikan Investor Migas | PT Bestprofit Futures Malang
"Saya kira orientasi kontraktor profit sebesar-besarnya tak mungkin ada eksplorasi, ini tidak menarik," ujar Marwan dalam sebuah Diskusi Energi Kita di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Minggu (22/1/2017).Menurut Marwan pemerintah harus membuat badan pengawasan independen terkait aturan Gross Split. Pasalnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) belum maksimal dalam mengawasi pelaksanaan regulasi bagi hasil tersebut.dalam pengawasan.
"Saya kira pengawasan tak optimal karena orang internal sendiri harusnya dari luar," papar Marwan.
Marwan menambahkan selama pengusaha protes mengenai kontrak bagi hasil, hal tersebut akan menghambat iklim investasi sektor migas."Oleh sebab itu, (gross split) ini perlu dikaji sebelum dipaksakan," jelas Marwan.
Peneliti IRESS Marwan Batubara menilai regulasi terkait bagi hasil (Gross Split) untuk Kontraktor Kontrak Kerjasama (K3S) dengan negara tidak disetujui banyak investor.Aturan tersebut tertuang di dalam Peraturan Menteri ESDM No. 8 tahun 2016.Marwan memaparkan, banyak pengusaha lokal dan asing merasa dirugikan oleh diberlakukannya skema kontrak Gross Split. Karena itu, Marwan berharap pemerintah mengkaji kembali regulasi tersebut.
Best profit