”Padahal, kita di negara ASEAN adalah penghasil pulp dan kertas terbesar nomor satu. Tentunya kalau harga gas tidak diturunkan, kita tidak lagi kompetitif. Kita tidak bisa mempertahankan lagi posisi Indonesia di nomor satu,” ungkapnya. Liana melanjutkan, industri pulp dan kertas diminta untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011. Hal tersebut bisa tercapai jika harga gas turun.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menilai harga gas yang digunakan sebagai bahan bakar industri pulp dan kertas dinilai masih memberatkan. Saat ini harga gas untuk industri pulp dan kertas berkisar USD9-11 per MMBTU. Para pengusaha menginginkan harga lebih rendah untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain.
”Ini masih dirasakan cukup berat karena kebijakan pemerintah baru mengalokasi untuk tujuh industri saat ini, tapi yang direalisasikan baru tiga industri,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam seusai Pengukuhan Kepengurusan APKI 2017 di Jakarta.Direktur Eksekutif APKI Liana Bratasida menambahkan, harga gas industri di negara-negara lain di ASEAN jauh lebih murah dibandingkan Indonesia, yakni di bawah USD6 per MMBTU.
Industri Pulp dan Kertas Diproyeksi Bakal Tumbuh 4% | PT Bestprofit Futures Banjarmasin
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan instansinya saat ini tengah gencar mendorong stake holder terkait untuk bisa memasukkan industri pulp dan kertas untuk bisa mendapatkan penurunan harga gas.“Kami mendorong harga gas semakin kompetitif karena di luar sudah ada yang bisa sampai US$14 per MMBtu. Harga gas di Indonesia relatif mahal, dan industri pulp dan kertas belum dimasukkan ke dalam kelompok industri yang mendapatkan harga khusus sebagaimana diatur pada Perpres No. 40 Tahun 2016,” ujarnya.Ketersediaan energi yang ramah lingkungan dengan harga yang kompetitif juga merupakan hal yang sangat menentukan daya saing.
Namun, dia tetap optimistis bahwa Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang masih dimungkinkan untuk mengembangkan industri pulp dan kertasnya, disamping beberapa negara di Amerika Latin dan Asia Timur.Selain karena masih luasnya potensi HTI, potensi bahan baku non kayu dari limbah perkebunan ataupertanian, terutama tandan kosong kelapa sawit (TKKS) juga masih bisa dikembangkan. Saat ini, perkebunan kelapa sawit telah mencapai areal sekitar 11,3 juta ha.
Industri pulp dan kertas diproyeksikan akan tumbuh 3%-4% pada 2017 dengan prediksi ekpsor yang akan meningkat. Dengan begitu Indonesia berpeluang menduduki peringkat ke-5.Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Aryan Warga Dalam mengatakan peluang tersebut didukung oleh adanya keunggulan kompetitif yaitu letak geografis Indonesia.Adapun potensi luas izin hutan tanaman industri (HTI) yang tersedia mencapai 10,58 juta hektare dengan kecepatann pertumbuhan pohon hanya 5-6 tahun sebagai sumber bahan baku yang terbarukan.
“Industri pulp dan kertas dalam negeri berkontribusi terhadap devisa negara sekitar US$5,3 miliar pada 2015 dan menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk produksi kertas serta peringkat ke-10 di dunia untuk produksi pulp pada 2015,” katanya dalam acara Pengukuhan anggota APKI 2016-2021, Senin (30/1/2017).Tak hanya peluang, ada berbagai tantangan yang tahun ini masih dihadapi oleh pelaku usaha. Di antaranya adalah permasalahan harga gas dan ketersediaan garam industri yang digunakan untuk memproduksi pulp.Kedua permasalahan tersebut dikhawatirkan akan menghambat pemenuhan bahan baku. Selain itu, PP No.57/2016 tentang Perubahan atas PP No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dinilai bakal membatasi luasan untuk pemenuhan bahan baku.
Industri Kertas Nasional Masih Hadapi Berbagai Hambatan | PT Bestprofit Futures Medan
Lainnya terkait dengan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Menurutnya, aturan tersebut berpotensi mengurangi jumlah luasan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebagai sumber bahan baku industri pulp.Sementara itu, pasokan bahan baku juga terganggu dengan adanya Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya Beracun.
Dengan itu, industri kertas mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku kertas bekas. Jika hambatan-hambatan tersebut tidak diselesaikan, maka industri pulp dan kertas akan terancam dan sulit bersaing.Pada 2015, industri pulp dan kertas menyumbang devisa negara mencapai 5,3 miliar dollar AS. Indonesia juga menduduki peringkat ke enam di dunia untuk produksi kertas dan peringkat ke 10 untuk produksi pulp.APKI menargetkan industri pulp tahun ini bisa tumbuh tiga hingga empat persen sehingga ekspor pun bisa meningkat.
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) meminta pemerintah untuk dapat menghilangkan berbagai kendala yang menghambat industri pulp dan kertas di Indonesia.Ketua APKI Aryan Warga Dalam mengatakan, kendala yang dihadapi oleh industri pulp dan kertas adalah bahan baku, terkait harga gas industri, dan juga Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Menurut dia, harga gas untuk industri pulp dan kertas sangat tidak efisien. Saat ini, harganya mencapai 9 sampai 11 dollar AS per Million British Thermal Unit (MMbtu). Sementara di negara lain harga gas industri di bawah itu."Mahalnya harga gas menjadi salah satu beban industri pulp dan kertas," kata Aryan saat pelantikan pengurus APKI periode 2016-2021 di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Jakarta, Senin (30/1/2017).
Dia berharap, dengan adanya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Penggunaan Gas Bumi Tertentu, pemerintah segera menurunkan harga gas untuk industri ini.Isu lainnya adalah mengenai pasokan garam industri. Saat ini, pasokan kebutuhan garam industri sudah menipis, sementara izin impor belum keluar.
"Kami berharap izinnya bisa segera keluar supaya tidak mengganggu produksi," ujarnya.
PT Bestprofit