Bahkan, lanjutnya, setelah dipaparkan oleh Dirjen Ketenagalistrikan dan Direktur Utama PLN, perkembangan sektor listrik menunjukan kemajuan di atas kurva target. "Artinya (kurva perkembangan proyek listrik) ada di atas garis rencana. Artinya, dalam hal ini PLN masih komitmen dengan target yang ditetapkan," imbuh dia.
Dwi menjelaskan, capaian kemajuan itu menjadi satu poin bahwa megaproyek yang dicanangkan Presiden Jokowi tetap harus berjalan dan terealisasi pada 2019. Apalagi, lanjut dia, dalam RUEN juga telah disebutkan target listrik terpasang sebanyak 114.000 MW di 2025 dan 430.000 MW di 2050.
"Untuk target 35.000 MW itu menjadi target 2019. Di kebijakan energi nasional di RUEN 114 gigawatt total untuk 2025 dan 430 gigawatt untuk 2050. Ini yang menjadi perhatian kita semua bahwa 35.000 MW di 2019 itu harus tetap menjadi target nasional," pungkas dia.
Dewan Energi Nasional (DEN) menegaskan tidak ada revisi target pada proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW). Hal itu ditegaskan meski sebelumnya pemerintah merasa pesimistis terhadap target tersebut.
Anggota DEN Tumiran mengatakan, hasil sidang DEN ke-20 telah memutuskan bahwa pengerjaan proyek 35.000 MW tetap harus berjalan sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Tidak boleh ada pergeseran target dan proyek 35.000 MW harus tetap tercapai di 2019."Pembangunan pembangkit listrik mencapai 35 Gigawatt tidak boleh bergeser.
Kita harapkan berjalan tepat pada waktunya," kata Tumiran, dalam sebuah konferensi pers, di Kantor Kementerian ESDM, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (23/1/2016).Sedangkan Anggota DEN lainnya yakni Dwi Hary Soeryadi mengatakan, saat ini perkembangan sebagian besar sektor kelistrikan seperti pembangungan 35.000 MW, pembangunan transmisi 46 Kms, pembangunan gardu induk 108 MVA telah berjalan sesuai target.
DEN Putuskan Program Listrik 35.000 MW Harus Tuntas Tahun 2019 | PT Bestprofit Futures Pekanbaru
"Artinya, PLN masih komitmen dalam target yang ditetapkan," ucapnya.Anggota DEN lainnya, Syamsir Abduh mengatakan target penyelesaian program 35.000 MW bukan semata target, melainkan kebutuhan."Lebih baik energi berlebih daripada kekurangan. Oleh karena itu, kalau kekurangan negara harus menanggung," tukasnya.Pasalnya, jika pasokan kurang, negara harus menyewa pembangkit listrik tenaga diesel atau gas terapung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal itu diyakini akan lebih mahal dan tidak efisien.
Rinaldy Dalimi, anggota DEN lainnya, menjelaskan berdasarkan pengalaman, pembangunan pembangkit listrik butuh waktu tiga tahun setelah proses "financial closing" (penuntasan pembiayaan).Oleh karena itu, jika "financial closing" belum dilakukan hingga Desember 2016, pembangunan baru akan selesai 2019 sehingga dikhawatirkan hanya 20.000 MW yang mungkin selesai sesuai target.
"Maka dalam rapat tadi, Pak Menteri (Ignasius Jonan) meminta supaya proses yang normalnya tiga tahun ini bisa dipercepat oleh PLN dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM supaya selesai lebih dari 20.000 MW," ungkapnya.Percepatan, lanjut Rinaldy, dilakukan dengan mempercepat proses perizinan, terutama di daerah meski tidak diungkapnya secara rinci.
Program Pemerintah yaitu program listrik 35.000 megawatt (MW) harus tetap diselesaikan pada tahun 2019.Hal ini jadi salah satu putusan Sidang Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ke 20. Putusan ini sebagaimana diputuskan dalam sidang paripurna DEN ke 4 yang dipimpin Presiden Jokowi 5 Januari lalu.Anggota DEN Dwi Hary Soeryadi mengatakan, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang disusun DEN, total kapasitas pembangkit listrik pada 2025 adalah 114.000 MW dan 430.000 MW pada 2050.
Jika target penyelesaian pada 2019 tertunda, maka dipastikan target jangka panjang juga akan tertunda."Ini yang jadi perhatian kita semua bahwa 35.000 MW di 2019 itu harus tetap jadi target nasional," tegas Soeryadi, Senin (23/1/2017).PT PLN (Persero) mencatatkan progres positif dalam penyelesaian program 35.000 MW di mana progres pembangunan transmisi 46.000 kilometer sirkuit (kms), gardu induk 108.000 mva dan 402 pembangkit listrik berada di atas garis rencana.
Tarif Listrik dari Energi Terbarukan 85% dari Biaya Pokok Produksi | PT Bestprofit Futures Pekanbaru
"Jadi misalnya harga EBT di wilayah Indonesia Timur, misalnya di Papua disesuaikan dengan BPP (Biaya Pokok Produksi). Berapa harga BPP di Papua. Harga BPP di Papua misalnya untuk harga listriknya Rp2.500, maka EBT di sana 85% dari BPP tadi. 85% dari Rp2.500 berapa, kira-kira Rp2150," jelasnya di Kantor Kementerian ESDM, Senin (23/1/2017).
Namun, dijelaskannya, nantinya akan timbul pertanyaan mengenai besaran tarif di Pulau Jawa. Pasalnya BPP di Pulau Jawa cenderung rendah. Jika mengikuti patokan tersebut maka tarif EBT di Pulau Jawa akan lebih rendah. "Pemerintah saya kira punya keyakinan tapi memang pertanyaannya muncul, itu di Jawa bagaimana, padahal di Jawa kan BPPnya rendah maka di Jawa untuk menuju ke sana diperlakukan bisa merujuk BPP nasional," lanjutnya.
Artinya, untuk Pulau Jawa, akan ada tarif khusus yang diberlakukan. "Iya Jawa bisa diperlakukan BPP nasional. Kalau BPP regional itu lebih rendah daripada BPP Nasional maka diberlakukan berdasarkan BPP nasional," tambahnya.
Dewan Energi Nasional (DEN) mengusulkan agar besaran tarif Energi Baru Terbarukan (EBT) dipatok 85% dari tarif listrik di tiap-tiap daerah di Indonesia. Anggota DEN Tumiran mengatakan, pihaknya telah memberikan ide dan melakukan kesepakatan dengan PT PLN (Persero) mengenai besaran tarif untuk energi baru terbarukan tersebut.
Best profit