Data BPS menunjukkan, pada September tahun lalu, pengeluaran per kapita 40% masyarakat terbawah naik 4,56% year on year (YoY) dan pengeluaran per kapita 40% masyarakat menengah naik 11,69% YoY. Sementara pengeluaran per kapita 20% masyarakat ter atas hanya naik 3,83% YoY.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Sairi Hasbullah mengatakan, lebih rendahnya kenaikan pengeluaran untuk masyarakat atas tersebut dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya situasi perdagangan global yang belum sepenuhnya membaik. Ia menyebut kinerja ekspor Indonesia masih terbatas.Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih dan masih berada di kisaran 5% hingga kuartal ketiga. "Dan tingkat pertumbuhan itu yang paling berdampak utama di level atas," kata Sairi, Rabu (1/2).
Sementara itu, kenaikan pengeluaran masyarakat kelas menengah dan kelas bawah ditengarai adanya peningkatan perekonomian masyarakat kelas tersebut. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, hal tersebut sejalan dengan data survei ekonomi nasional yang menunjukkan bahwa di kelas menengah, jumlah dan presentasi penduduk yang bekerja dengan status bekerja sendiri atau bekerja tidak dibayar itu meningkat."Artinya, ada geliat UMKM di sana. Kalau kembali kepada angka BPS soal survei angkatan bekerja nasional pada Agustus 2016 lalu memang ada peningkatan jumlah pekerja yang berusaha sendiri naik 4,77%," tambahnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio pada bulan September 2016 sebesar 0,394. Angka itu turun tipis, sebesar 0,003 poin dibanding Maret 2016 dan turun 0,008 poin dibanding September 2015.Gini ratio diukur dalam rentang 0 yang menunjukkan pemerataan sama sekali, hingga 1 yang menunjukkan tidak ada pemerataan sama sekali. Dilihat berdasarkan distribusi pengeluaran per kapita penduduk Indonesia, penurunan tipis gini ratio tersebut lagi-lagi disebabkan oleh kenaikan pengeluaran per kapita 40% masyarakat terbawah dan menengah yang lebih cepat dibandingkan kenaikan pengeluaran per kapita 20% masyarakat teratas.
Tingginya Gini Ratio Picu Konflik Sosial | PT Bestprofit Futures Pekanbaru
"Tentu memberikan pengaruh, miskin atau ketimpangan mereka merasa tidak jadi bagian di negeri ini. Maka kalau terjadi mudah dipengaruhi radikalisme. Akar permasalahan banyak, salah satu itu soal kemiskinan," sebut Kecuk pria yang memiliki nama asli Suhariyanto.Jika membalik ulang ke tahun 2010, Kecuk menyebutkan, tingkat gini ratio tercatat sebesar 0,378 dan meningkat menjadi 0,410 per Maret 2011. Gini ratio turun lagi di September 2011 menjadi 0,388. Pada Periode Maret 2012 hingga September 2014, nilai gini ratio berfluktuasi dan mencapai angka tertingi di posisi 0,414. Pada Maret 2015, gini ratio mulai turun 0,408 dan terus menurun hingga mencapai angka 0,394 di September 2016.
Kecuk menambahkan, ada delapan kota yang gini rationya di atas tingkat nasional, seperti Yogyakarta yang memiliki tingkat gini ratio tertinggi sebesar 0,425. Tertinggi kedua ada di Gorontalo 0,410, Jawa Timur sebesar 0,402, Jawa Barat sebesar 0,402, Papua Barat sebesar 0,401, Sulawesi Selatan sebesar 0,400, Papua sebesar 0,399 dan Jakarta sebesar 0,397."Gini ratio paling terendah ada di Kota Belitung. Tingkat gini ratio di daerah tersebut hanya mencapai 0,288," tutup Kecuk.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka gini ratio pada September 2016 mengalami penurunan. Tercatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh gini ratio sebesar 0,394 di September 2016. Angka itu mengalami penurunan 0,003 poin bila dibandingkan dengan gini ratio pada Maret 2016 yang sebesar 0,397.
Meskipun mengalami penurunan, Kepala BPS Suharyanto mengharapkan pemerintah untuk terus menurunkan tingkat gini ratio. Pasalnya, ketimpangan sosial bisa menimbulkan konflik sosial."Kalau tidak dijaga maka ketimpangan yang tinggi akan terjadi konflik sosial," ucap Suhariyanto, ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Rabu (1/2/2017).Suhariyanto menekankan, jika gini ratio semakin tinggi, paham radikalisme yang ada di Indonesia akan semakin berkembang. Dengan adanya penurunan gini ratio, angka kemiskinan akan semakin menurun.
BPS Ingatkan Menjamurnya Radikalisme | PT Bestprofit Futures Pekanbaru
Angka itu lebih baik dibandingkan kondisi September 2015 yang hanya 17,01 persen.Bila mengacu kepada ukuran Bank Dunia, dengan persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen masyakarat terbawah sebesar 17,11 persen, Indonesia termasuk ke dalam kategori negara dengan ketimpangan rendah.Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang oleh gini ratio mencapai 0,394 pada September 2016, atau turun 0,008 poin dari data September 2015.
Kepala BPS Suharyanto mengingatkan bahwa masalah ketimpangan harus menjadi fokus pemerintah tahun ini. Sebab, ketimpangan berkaitan erat dengan menjamurnya radikalisme.
"Ada enggak sih kaitannya? pasti ada. kalau bicara radikalisme, terorisme, kan hanya detilnya. Namun akarnya kan banyak sekali, salah satu faktornya adalah kemiskinan atau ketimpangan," ujarnya di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (1/2/2017).
Suharyanto juga B Oleh karena itu, pemerintah harus fokus dengan masalah ketimpangan.
"Kalau itu terjadi (ketimpangan semakin lebar), maka gampang dipengaruhi sehingga timbulkan radikalisme. Namun itu bukan satu-satunya faktor ya," kata Suharyanto.Selain itu, BPS juga melaporkan persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen masyakarat terbawah Indonesia adalah sebesar 17,11 persen pada September 2016.
Bestprofit