"Apabila tidak mau bangun smelter maka dalam waktu lima tahun kita awasi ketat. Dalam lima tahun dibagi 100 persen kita awasi setiap progresnya. Setiap enam bulan kita periksa. Kalau enam bulan tidak ada progres maka izin ekspor dicabut," tegas dia."Tapi coba saja. Kalau dalam waktu enam bulan setelah mengubah IUPK dan mendapatkan izin ekspor dan tidak melakukan pembangunan smelter maka coba aja," tambah dia.Untuk memperkuat hal tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Untuk itu dalam hal ini Pemerintah terbitkan PP 1 Tahun 2017," ujar diaMantan Menteri ESDM ini menegaskan, PP 1/2017 tersebut tidak melanggar Undang-Undang (UU) 4 Tahun 2009. Dalam UU tersebut pasal 102 dan 103 Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian. Sedangkan, pasal 170 juga menegaskan pemegang Kontrak Karya (KK) wajib melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dalam waktu 5 tahun setelah UU terbit.
Namun, UU itu tidak berjalan yang menyebabkan setiap tiga tahun sekali pemerintah dihadapkan dengan permasalahan krusial mengenai perpanjangan kelonggaran ekspor konsentrat.Menurutnya, kelonggaran ekspor itu tidak melanggar UU Minerba. Karena pasal 102 dan 103 tidak ditentukan batas waktu penerapan pengolahan dan pemurnian dala negeri untuk IUPK. Sedangkan KK tetap tidak dibisa ekspor."Yang dilarang pasal 170 UU Minerba adalah pemegang KK. Bagaimana IUPK? Tidak ada batas waktu dan ini faktor yang bisa menerbitkan PP. Menurut hemat pemerintah ini solusi terbaik dan tidak melanggar UU," pungkas dia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengawasi secara ketat perusahaan tambang yang berkomitmen membangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, setelah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pemerintah akan mengawasi setiap perkembangan pembangunan smelter. Perkembangan pembangunan itu akan erat kaitannya dengan izin ekspor mineral olahan (konsentrat)
Pemerintah akan Lebih Ketat Awasi Pembangunan.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mengawasi secara ketat perusahaan tambang yang berkomitmen membangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, setelah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pemerintah akan mengawasi setiap perkembangan pembangunan smelter.Perkembangan pembangunan itu akan erat kaitannya dengan izin ekspor mineral olahan (konsentrat).Ini 10 Daya Tarik Makau yang Memukau Wisatawan "Karena seluruh pemegang KK menjadi IUPK. Setelah menjadi IUPK, kalau mau ekspor hasil olahan maka dia harus bangun smelter," kata Arcandra, dalam sebuah diskusi, di kawasan Kebon Siriih, Jakarta Pusat, Rabu 18 Januari.Ia bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan telah sepakat akan tegas kepada perusahaan-perusahaan tambang yang bandel dan tidak mau membangun smelter, padahal mereka sudah berkomitmen untuk membangunnya. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah akan mencabut izin ekspornya jika pembangunan itu tidak ada kemajuan.
Pemerintah tolak persyaratan Freeport | PT Bestprofit Futures
Asal tahu saja, perubahan status dari kontrak karya menjadi IUPK ini bisa tuntas dalam waktu 14 hari. Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerjasama Kementerian ESDM Sujatmiko bilan, hitungan 14 hari menjadi IUPK itu apabila syarat yang sesuai dengan aturan yang ada sudah disepakati. "Lengkap itu artinya sesuai ketentuan aturan dalam IUPK itu, kalau belum, ya, tidak bisa langsung berubah," ujarnya.
Apabila Freeport belum menyepakati ketentuan yang ada dalam IUPK, sesuai ketentuan, kontrak karya belum bisa berubah menjadi IUPK. Dan dengan begitu, Freeport harus menyetop kegiatan ekspor konsentrat.Jurubicara Freeport Indonesia Riza Pratama menyebutkan, pihaknya memang sudah mengajukan konversi dari kontrak karya menjadi IUPK. Hanya saja itu disertai dengan perjanjian stabilitas investasi bagi jaminan kepastian hukum dan fiskal. Menurutnya, Freeport Indonesia telah menyampaikan komitmen ke pemerintah membangun smelter. "Dan segera melanjutkan pembangunan setelah hak operasional diperpanjang,“ ungkapnya ke KONTAN.
PT Freeport Indonesia sepakat dengan perubahan konversi dari kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam proposal yang diajukan Freeport pada Sabtu (14/1) lalu, perusahaan yang berinduk di Amerika Serikat itu bersedia mengubah statusnya menjadi IUPK. Salah satu syaratnya, ketentuan pajak yang saat ini dinikmati Freeport, yakni naildown tidak berubah menjadi prefilling.
Kemudian, Freeport juga menyodorkan syarat lain ke pemerintah. Apabila diwajibkan membangun smelter selama kurun waktu lima tahun ini, pemerintah harus memberikan kepastian perpanjangan kontrak hingga tahun 2041.Pemerintah langsung menolak mentah-mentah syarat Freeport tersebut. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, siapapun, tanpa kecuali, harus mengikuti aturan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Jadi, tidak ada negosiasi lagi. "Harus tunduk. Jadi PP sudah diteken presiden, permen diteken menteri. Semua harus sama kedudukan sama di mata hukum," ungkap dia, Rabu (18/1).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono menambahkan, pengajuan perubahan dari kontrak karya menjadi IUPK itu masih dalam proses pengkajian. "Prosesnya masih berjalan," tandasnya.
Perubahan status Freeport tak gerus penerimaan negara | PT Bestprofit Futures
Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M Djuraid mengatakan, perubahan rezim kontrak Freeport ke izin pertambangan sama halnya dengan mengubah posisi negara yang selama ini setara korporasi. Dengan KK, negara dengan korporasi menjadi setara karena sistemnya kontrak."Sekarang (Freeport) harus izin, jadi tidak setara lagi," kata Hadi.Selain itu, perubahan menjadi IUPK juga membuat Freeport tidak akan lagi mendapatkan izin sepanjang KK yang bisa mencapai 50 tahun. Karena, saat ini pemerintah hanya memberikan izin 10 tahun dengan opsi perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun.
Freeport juga kemungkinan akan mengurangi batas area tambangnya menjadi hanya 25.000 hektare, dari sebelumnya 90.000 hektare. Meski begitu, Freeport bisa melepas sisa area tambang tersebut dan mengurus izin area tambang baru sesuai ketentuan IUPK, yaitu per 25.000 hektare.Saat ini Kementerian Keuangan sedang mempersiapkan beleid lanjutan dari PP Nomor 1/2017, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2016, dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016.Sebelumnya Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengusulkan besaran tarif bea keluar ekspor konsentrat sebesar maksimal 10 persen bergantung dari kemajuan pembangunan smelter. Namun, Sri Mulyani masih perlu melakukan pembahasan lanjutan rumusan PMK tersebut bersama kementerian terkait.
Kementerian Keuangan memastikan perubahan status PT Freeport Indonesia tidak akan menggerus penerimaan negara.Sebab, Freeport masih dapat dikenakan sejumlah pajak yang di antaranya, Pajak Penghasilan (PPh) badan 25 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, pajak dividen, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)."Umum semua ketentuannya. Kalau dia mengikuti ketentuan yang berlaku, efeknya positif ke penerimaan negara juga jadi naik," ujar Kepala Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, dalam KOMPAS.com, Rabu (18/1/2017).
Suahasil mencontohkan, Freeport sebelumnya diharuskan membayar PPh dengan tarif 35 persen, sekarang menjadi 25 persen, kemudian PPN 10 persen dari yang sebelumnya 2,5 persen. Tambahan lainnya adalah pembayar dividen. Setoran perusahaan akan lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa perubahan status Freeport itu justru memberikan kepastian terkait hak-hak yang akan diterima pemerintah. Misalnya, hak terkait penerimaan perpajakan dan royalti.Untuk diketahui, Freeport sepakat mengakhiri rezim kontraknya yang sudah berumur 50 tahun dengan mengubah statusnya dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Kesediaan Freeport mengubah statusnya tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, yang tak hanya bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini saja, melainkan untuk 33 perusahaan pemegang Kontrak Karya lainnya.Tak hanya terikat atas aturan, perubahan status itu juga menjadi salah satu syarat yang diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar dapat melakukan ekspor mineral mentah atau konsentrat. Pasalnya, sejak 12 Januari 2017, ekspor mineral hasil pengolahan, termasuk konsentrat tembaga milik Freeport terhenti.
Bestprofit